“Jangan
 bercanda ah, gak lucu tau gak…?!” sahut Defri, “Tapi gue gak bisa 
jalan…” balas Fanes. Mereka menoleh ke belakang bersamaan, mulutnya 
telah siap untuk berteriak, sampai… “Oh, ternyata ke injek sendiri… 
Sorry sorry, say… gue gak tau…” kata Fanes, nyengir. “Tuh kan… Talinya 
malah lo injek ndiri… Makanya kalo jalan
 tuh lihat-lihat donk !” ucap Defri. Tiba-tiba… sekelebat bayangan hitam
 muncul dihadapan mereka, mereka berteriak kencang. “Aaaaaaa !!! 
Setaaaan !!” Lalu keduanya berlari, menuju gerbang.
             “Lo 
denger ada teriakan gak tadi…?” tanya Gladies, yang sedang mengamati 
dinding-dinding disampingnya. “Halah, perasaan lo aja… Lupain…” kata 
Razta. Tiba-tiba, Gladies mendengar suara kemresek pelan di suatu pintu 
disampingnya. “Ta, dengerin deh…” katanya, menyuruh Razta menghampiri.
 “Apa ?” Razta juga mendengar suara itu, “Cuma angin… gak usah 
dipikirin…” jawabnya, wajahnya terlihat gelisah. “Ta, nih kan udah 
tengah malem… Biasanya kalo udah tengah malem… setan-setan pada keluar… 
Gue takut niih…” ujar Gladies, matanya berkaca-kaca.
 “Udahlah… 
Lagian nih kan jam 12 lebih… Bukan tengah malem lagi…” jawab Razta, dia 
merasa ada yang lewat dibelakangnya, dia langsung menoleh. Hawanya 
terasa dingin. “Kok jadi dingin ya, Dies…?” katanya. “Ya iyalah… malem 
ini…” jawab Gladies. “Perasaan gue gak enak, Dies…” ucap Razta. “Jangan 
bercanda ah…!” Gladies menyahut. “Kayaknya ada sesuatu di belakang gue…”
 gumam Razta, berkeringat. Perlahan, Gladies memberanikan diri menoleh 
ke belakang. Jantungnya berdetak kencang saat sesosok bertubuh tinggi 
besar hitam berdiri membelakangi dia dan Razta. Gladies menatap Razta. 
“Ada apa ?” tanya Razta pelan.
 “Gue nyerah, Ta… Kita balik yuuuk…” 
Gladies menggumam. Dan mereka menoleh ke belakang bersama. “Berarti kita
 kalah donk…” Razta bergumam. “Permisi, nggeh… amit-amiit…” ucap Razta 
pelan sambil membungkuk di belakang sosok itu, disusul oleh Gladies, 
berjalan cepat kembali ke pintu gerbang. “Serem juga ya punggung setan… 
gedhe…” gerutu Razta, mengelap keringatnya. Ketika akan keluar, Gladies 
melihat ada yang melambai ke arahnya, dia menoleh. “Hiiii….” katanya, 
memandang takut dan jijik sosok perempuan berbaju putih dipojok ruangan,
 wajahnya hancur ! “Ta, kalo jalan kapan nyampenya ? Lari aja deeh…” 
bisik Gladies, yang langsung berlari, “eh, tunggu…!” sahut Razta, ikutan
 berlari.
 . . .
             “Barang-barang disini antik juga… 
dulunya tempat apa sih ini ?” tanya Melly pada Aldi yang sedang berdiri 
disampingnya. “M… dulunya sih, ini gedung kantoran… terus bangkrut, jadi
 pabrik gitu deh… Abiz itu, kalo gak salah sih ada kebakaran disini…” 
Aldi menjelaskan.
 “Ehm, kebakaran ? Kok barangnya masih ada yang 
bagus ? Kok gak hangus ??” tanya Melly penasaran. “Tauk deh… ada yang 
bersihin kali…” jawab Aldi seenaknya.
 “Ngarang lo !!” Tiba-tiba, Aldi merasa ada yang menepuk punggungnya. Dia langsung menoleh… kosong.
             Baim berhadapan dengan sebuah pintu, anehnya, sesaat dalam 
pintu itu selalu mengeluarkan suara. Baim mengumpulkan keberanian, dan 
mendekat. Telinganya mendengarkan dengan seksama. Bulu kuduknya berdiri.
 Bayangan putih lewat disampingnya. Dia menoleh, tak ada. Kemudian dia 
mencoba membuka pintu itu. … Tak lama kemudian, pintunya terbuka, dia 
merasakan hawa dingin berhembus dari dalam ruangan. Baim semakin masuk 
ke dalam, semakin dalam. Dia berpapasan dengan seorang anak kecil, duduk
 sendiri membelakanginya di ujung ruangan. Perlahan Baim mendekati, 
hingga… anak itu menoleh, mulutnya mengeluarkan banyak darah. Baim 
terdorong mundur, dan dia berteriak, berlari menjauh.
             
“Ini jam berapa, Di ?” tanya Melly. “01.20…” jawab Aldi. Mereka 
mendengar teriakan, dan langsung menoleh. Dilihatnya Baim yang berlari 
menghampiri mereka. “Kenapa, Im ?” tanya Aldi, “setaan…” jawab Baim, 
berkeringat. “Ah, Di… Mel… Lebih baik kita keluar… Di belakang lo… Itu, 
ada… set, set, set… an….” Kata Baim, menunjuk sesosok pocong dibelakang 
Aldi dan Melly. Mereka menoleh, “Di… Gue takut…” gerutu Melly. Aldi 
langsung menggenggam tangannya. “Aaaaaaaa !!!” mereka berteriak dan 
berlari, keluar dari gedung itu.
 
             Siang hari, di 
tempat kos Aldi. “Ternyata, gak ada ya yang bisa tahan disana ampe 2 
jam…” ucap Aldi, melamun diatas kursi dekat jendela. “Yang adain aja gak
 bisa…!” sahut Fanes, “ah, udahlah… yang penting kan kita masih 
selamat…” lanjut Gladies, sambil meneguk minumannya.
 “Gila aja…! Gue
 disana lihat bayangan item, gedhe… didepan gue lagi…” kata Defri, “nah,
 gue lihat sosok gedhe, item, tinggi pula… nyeremin deh…” tambah Razta, 
“bukan cuma itu, kita juga lihat perempuan pake baju putih, wajahnya 
nyeremin…” Gladies menambahi.
 “Mending ! Nah gue, udah ketemu tuyul,
 terus pocong pula !! Mrinding gue…” kata Baim, tak kalah seru. “Ngapain
 sih lo, Mel ? Daritadi diem mulu…” tanya Fanes yang melihat Melly 
sedari tadi memandang hpnya.
 “M… sini deh, kalian lihat…” kata 
Melly, semua mendekatinya. “Pas gue, Fanes ma Gladies foto, tuh kan cuma
 bertiga… kalian lihat deh, dibelakang Gladies ada apanya…” Melly 
menjelaskan, Gladies dan Fanes merebut hpnya dan melihat foto itu. 
Jantung mereka berdetak kencang.
 “Kayak… kuntilanak…” ucap Gladies 
pelan. “Masa sih ?” tanya Razta penasaran, lalu mereka memberikan hpnya.
 “Wah, iya niih… kayak mak kunti…” lanjut Defri.
 “Mana sih… Lihat…!”
 ucap Aldi dan Baim, lalu… “Weew… beneran…! Mending hapus aja deh… dari 
pada kebayang terus… hapus gih…” kata Baim, memberikan hp itu pada 
Melly. Melly segera menghapusnya, tapi… “Duuh, kok eror ? Gak bisa 
dihapus… Eh, bentar-” ucapnya tertahan. Kemudian dia menghapus foto yang
 lain, bisa. Lalu kembali menghapus foto yang tadi, tapi tak bisa. “Gak 
bisa dihapus nih… gimana donk ? yang lainnya aja bisa dihapus kok…” 
gumamnya, sedikit ketakutan. “Eh, tunggu… kok ada foto yang lain… 
sumpeh, gue gak ngerasa punya foto ini…” lanjutnya.
 “Foto apaan sih ?” tanya Aldi penasaran.
 “Ini… set,setan…” jawab Melly pelan. “Serius lo ?” ucap Defri. Mereka 
berpandangan, jantung mereka berdetak kencang. Hawa dingin terasa di 
kamar itu. “jangan-janagn kita di terror…” Razta asal ceplos. “Gimana 
nih ? gue takut…” balas Fanes. “Gue kan udah bilang ! Kita tuh gak usah 
foto segala… Gini deh jadinya…!” bantah Melly pada Gladies. “Eh, 
jelas-jelas lo gak ngomong gitu ya !! Lo cuma ngomong, jangan foto 
bertiga ! Gak usah lebai deh…” Gladies membalas, tak kalah keras 
suaranya.
 “Hey, udahlah !! Gak ada gunanya berantem !” Baim menengahi.
 “Terus gimana ?” tanya Razta.
 “Ini semua gara-gara lo, Di…! Lo kan yang punya ide gila buat di gedung itu…?!” Defri marah.
 “Heh, lagian kan gue udah bilang waktu itu, kalo gak ikut juga gak 
apa-apa… Gak ada yang maksa !! Ya salah lo ndiri…!” Aldi membalas.
 
“Heh, udahlah !! Harus ya berantem terus ?!” Baim kembali menengahi. 
“Kalo emang bener di terror, sekarang gimana caranya kita lolos dari 
terror ini…?” lanjutnya. Ketika Melly akan mengambil minum di meja, 
tiba-tiba dia melihat sosok putih melewatinya, bulu kuduknya langsung 
berdiri, dia memejamkan matanya sejenak. “Kenapa, Mel ?” tanya Aldi. 
“Gak… gak… gak apa-apa…” jawabnya parau, lalu duduk disamping Aldi.
 
“Apa kita harus kesana lagi, buat minta izin ma penghuni-penghuninya… 
Waktu itu kan kita asal masuk aja…” ucap Razta. “Minta izin gimana ? 
Emang lo bisa ngomong ma setan ?” Aldi bertanya. “Minta bantuan dukun 
aja…” Defri memberi usul.
 “Lo percaya dukun…?” tanya Gladies, “gak 
ada salahnya kan…” lanjut Defri. “Dukun ? M… gue ada sih kenalan dukun 
gitu…” Baim menambahi.
 . . .
 
             “Gini lho mbah… 
kita itu kan kemarin malam masuk ke gedung tua dipojok jalan sana… Dan 
hari ini kita merasa kayak di terror, mbah… sama penghuni-penghuninya… 
gimana ?” Baim bertanya pada dukun itu, saat ini mereka berada dirumah 
sang dukun.
Sumber : http://m-wali.blogspot.com/2012/07/cara-membuat-komentar-facebook-di-blog.html#ixzz25JVfr06E
»»  Baca Selengkapnya » ...