“Aaaaa
!!!” Melly dan kebanyakan penonton bioskop lainnya berteriak ketakutan
saat sang hantu muncul. “Takut ya, beb?” tanya Aldi, cowok Melly, sambil
menggenggap tangannya. “Ya iyalah, masa ya iya donk… lo tau gue tadi
teriak…” jawab Melly, masih serius menonton. “Hmm… Katanya suka horror…
Tau gini, napa tadi milih yang horror ?” ujar Aldi.
“Keberatan ?” tanya Melly, sinis.
“Nggaaak…” “Kok sewot ?!” lanjut Melly.
“Halah… gitu aja ngambek…!” sahut Aldi. “Ssst…! Kalian tuh berisik
aja…! Dieeem…” kata Razta pada Melly dan Aldi. “Berantem ya ?” tanya
Gladies, asal nyambung. “Tauk… Iya kaliii… Hey, udahlah…” ujar Razta.
“Maaf deh, Mel… jangan marah ya…” ucap Aldi. Melly tak menjawab.
. . .
“Kalian gak pada pesen?” tanya Aldi pada teman-temannya. “m… kita nitip
aja deh… ya ?” sahut Defri yang sedari tadi diam dengan Fanes. “Kita
juga…” lanjut Razta, sambil menunjuk ke arahnya dan Gladies, sang pacar.
“Hhh, oke-oke… gue pesenin… Mel, lo mau pesen apa ?” tanya Aldi pada
Melly yang terlihat kesel.
“Seteraaah…” jawabnya lesu. “Oh, ya udah… bentar ya…” kata Aldi.
“Lo marahan ya ma Aldi ?” tanya Fanes, setelah yakin bahwa Aldi telah pergi.
“Tauk ah…!”
“Iya, marah ntuh… Kenapa sih, Mel ?” Gladies nyambung.
“Gak apa…” jawab Melly.
“Mel… lo kenapa sih? ketawa donk… jalan-jalan ini kan yang ngadain lo…”
ucap Razta. Melly tersenyum kecil. Lalu… “Nih… pesenannya… Ini pesenan
lo tuan putri…” kata Aldi pada Melly. “Dimakan ya…” Melly tersenyum
simple. “Di, jadi kan kita ke kos-kosan lo ?” tanya Defri.
“Ya, up to you…” jawab Aldi, “Ah, jadi-jadi…!” sahut Razta.
“Cewek-cewek mau dikemanain ntar ?” ujar Defri, sambil mengelap
keringatnya. Mereka berpandangan, “ikut aja gih… ya ? gak apa kok…”
tambah Aldi. “Ya udah, sip deh…”
. . .
“Lo kenapa
sih, cuma gara-gara film tadi aja, ngambek…” kata Aldi sambil menyetir
mobilnya. Keempat temannya tertidur di belakang. Melly tak menjawab.
“Mel… jawab donk… gak punya mulut ?!” tanya Aldi lagi, saking kesalnya.
Melly menatapnya sinis. “Lo kalo ngomong jangan asal ceplos ya !!” ucapnya.
“Makanya jawab… Masa gara-gara tadi jadi ngambek 100% ini…?” tanyanya.
“Abiz, lo nya gitu…” gumam Melly.
“Gitu kenapa ? Iya, gue tau, lo tuh suka horror… Tadi kan gue cuma
bercanda…” jawab Aldi dengan santainya. “Jangan marah lagi ya…?”
lanjutnya. Melly tersenyum. “Gitu donk… kan jadi tambah cantiik…” kata
Aldi. Mereka berhenti di lampu merah. Aldi merasa ada orang di samping
mobilnya, maka dia membuka jendela.
“Ssst… hey, ngapain disitu?”
tanyanya pada orang itu, cowok. Dan orang itu menoleh, “Aldi… Eh,
mending mobil lo mundur bentar deh… Mumpung sepi di belakang…” katanya,
tak lain adalah teman se-kos Aldi, Baim. “Eh, lo Im… Emang kenapa ?”
tanya Aldi. “Barang gue lo injek…!” gerutu Baim sambil menunjuk bawah
mobil Aldi.
“Apaan sih ?” tanya Aldi penasaran. Melly celingak-celinguk.
“Duit ! 100rb…!” jawab Baim.
“Ya ampuun… Lagian lo, ngapain naruh duit dibawah situ…? Kurang kerjaan
aja…” sahut Aldi, lalu memundurkan mobilnya sedikit. “Tadi duit gue
jatuh… Nah… Daritadi kek…” lanjut Baim, mengambil uang itu, dan “Lo mau
balik ke kos kan ? Gue numpang donk…!” tanyanya. “Hhh… ya udah… Di
belakang ya… Sono” tambah Aldi. “Siip…” gumam Baim lalu membuka pintu
mobil bagian belakang. “Siapa sih ?” tanya Melly kemudian, “Temen…
sekamar kos… Baim namanya…” jawab Aldi lalu tersenyum. Sesampainya di
tempat kos…
“Bentar, gue liat dulu ya… mother kos ada
apa gak…” Aldi berbisik. Yang lain menunggu di mobil. Tak lama kemudian,
“Yes ! Beliau lagi pergi…! Kalian bisa nginep disini… Yuuk…” kata Aldi,
lalu yang lain ikut turun dari mobil. “Tempat kos lo lumayan gede ya…”
gumam Razta. Mereka perlahan memasuki ruang tamu dan kemudian masuk ke
kamar Aldi dan Baim.
“Huh, so… kita tidur dimana ?” tanya Gladies.
“Kamar mandi…” jawab Aldi, “ya dikasurlah… Cewek-cewek tidur diatas…
Biar kita dibawah… Oke ?” lanjut Aldi.
“Pelan-pelan ngomongnya… Ntar penghuni yang lain pada bangun…” bisik Baim.
Mereka kemudian menata barang-barangnya. Sesaat kemudian,
“Nih, kacang… hehehe… Sorry, makanannya limit…” kata Baim, lalu duduk
didekat jendela. “Oh, ya… kenalin nih… temen sekamar gue… Baim namanya…”
ujar Aldi. Mereka tersenyum. Duduk bersama, melingkar, sambil melahap
kacang. “Gila, tadi tuh film, lumayan nyeremin ya…? Baru kali ini, gue
lihat film yang seserem itu…” kata Defri. “He’e… Bagus banget…! Jadi
kepengen gue…” lanjut Razta. Melly memandangnya.
Kemudian, “Film horror ya…?” tanya Baim. Aldi, Fanes dan Gladies mengangguk.
“M… Kalian mau nerima tantangan ?” tanya Aldi, “Tantangan apa ?” Melly balik tanya.
“Jangan yang aneh-aneh…!” kata Gladies dan Fanes bersamaan. “Gini…
Dideket sini… ada rumah gede, eh… gedung tua… udah lama sih gak kepake…
Kata orang-orang, tuh gedung ada penunggunya-” ucap Aldi, dengan tampang
serius. “Semua tempat ada penunggunya…” sahut Melly.
“Bentar beb…
Kita semua taruhan,” lanjut Aldi. “Apa ?” tanya Razta. “Kita ke gedung
itu… Yang bisa tahan di gedung itu 2 jam aja deh gak usah lama-lama, dia
menang…” ucap Aldi. “Tuh kan yang aneh-aneh…” gumam Fanes. “Kalo gedung
berhantu 10 menit aja udah KO…!” sahut Gladies. “Kalo gak ikut juga gak
apa-apa… Tapi, hadiahnya… bagi para pecundang alias yang kalah, kudu
nraktir yang menang selama 2 bulan !” tambah Aldi. “Traktir apa ?” tanya
Defri. “Terserah…” “Gue boleh ikut, kan ?” Baim nyambung.
“Tentu… deal ?”
“Oke, deal…” ucap mereka bersamaan. “Lo ikut kan Mel? Sekalian
nunjukkin kalo lo emang berani…” tanya Aldi. “Boleh…” jawab Melly dengan
santainya.
. . .
Sehari kemudian… Tepat jam 11.45
malam, mereka telah berkumpul didepan gedung berhantu itu. “Yakin nih ?”
tanya Gladies. Tak ada yang menganggapi. “Yuuk masuk…” ajak Aldi.
“Eeiits, Melly… Fanes… Kita foto dulu yuuuk… Buat kenang-kenangan kalo
kita ntar yang bakal menang… Melly, hp lo donk…” kata Gladies
bersemangat.
“Tapi kan kalo anak cewek, gak boleh… foto bertiga…” ujar Melly.
“Halah… Cuma mitos…!” jawab Gladies.
“Tapi ntar yang tanggung lo, ya…” sahut Fanes.
“Beres !! Udah deh kalian kok jadi takut gini sih!” Lalu mereka bertiga
berfoto tepat didepan gedung. Cekreek. Ketika mereka masuk, seseorang
mengintip dari balik pohon.
“Ya udah, kita plencar aja…
Defri, lo ma Fanes ke kiri… Aldi, ma Melly n Baim lurus… Gue, ma Gladies
ke kanan… Oke ?” ucap Razta, merangkul Gladies. Petualangan dimulai.
Melly merasakan bulu kuduknya berdiri. “Cuma disini sih,
gak ada apa-apanya…” celetuk Aldi. 30 menit berlalu, Melly, Aldi dan
Baim sampai pada 2 lorong didalam. “Kayaknya kita lebih baik ke kanan
aja deh…” kata Melly. “Kayaknya… Kalo menurut gue ke kiri… Lebih
meyakinkan… Lo pilih mana, Di ?” tanya Baim, tak sependapat dengan
Melly.
Aldi memandang Melly, “terserah kalo lo mau ikutin
kata-katanya dia… Nih, ya, beb… jalan ke kanan itu lebih baik dari
kiri…” ucap Melly, sewot.
“Gak, Di… ke kiri aja… Lebih terang disana…” ujar Baim, gak kalah sewot.
“Terang apanya ?! Jelas-jelas disitu gelap… Lebih terang kanan !!” lanjut Melly.
“Udah donk !! Jangan berantem…! Lebih jelas lagi… Keduanya tuh sama-sama gelap, tau gak ?!” Aldi mengomentari.
“Terus kita kemana ?” tanya Melly. “Gini aja… Kita plencar…! Gue ke
kiri… Lo ke kanan ma Melly…” tambah Baim yang langsung pergi begitu
saja. “Heh ! Baim !! Ckck, ya udah deh… yuuk!” ucap Aldi pada Melly,
memasuki lorong kanan.
“Def… balik yuuuk… Gue dah gak
betah nih… Gue takuut !” gumam Fanes, “makanya, lo jangan jauh-jauh dari
gue…” jawab Defri, menggandeng tangan Fanes. Tiba-tiba…”Eh, say…
Kayaknya tali sepatu gue ada yang nginjek deh… di belakang… Gue
takuuut…” gumam Fanes lagi, tangannya merinding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa Komentar anda tentang post ini?